PEMBAHASAN
Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah yang berhasil
memimpin umatnya dengan adil. Ia adalah pemimpin yang sangat wara’, zuhud,
bersih, dan peduli pada umatnya. Umar bin Abdul Aziz disebut para ulama sebagai
khulafa’urrasyidin ke-5, karena kesamaan manhaj kepemimpinan beliau dengan
empat khalifah pertama penerus Rasulullah saw. Umar bin Abdul Aziz mempunyai
keperibadian yang tinggi, wara' yang diwarisi dari kakeknya Umar bin Al-Khatab.
Ia juga sangat berhati-hati dengan harta terutamanya yang melibatkan harta
rakyat.
A.
Kisah
Umar bin Khattab berkaitan dengan kelahiran Umar II
Menurut tradisi Muslim Sunni,
silsilah keturunan Umar dengan Umar bin Khattab terkait dengan sebuah peristiwa
terkenal yang terjadi pada masa kekuasaan Umar bin Khattab.
"Khalifah
Umar sangat terkenal dengan kegiatannya beronda pada malam hari di sekitar
daerah kekuasaannya. Pada suatu malam beliau mendengar dialog seorang anak
perempuan dan ibunya, seorang penjual susu yang miskin. Kata ibu “Wahai anakku, segeralah kita tambah air
dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari”. Anaknya
menjawab “Kita tidak boleh berbuat
seperti itu ibu, Amirul Mukminin melarang kita berbuat begini”. Si ibu
masih mendesak “Tidak mengapa, Amirul
Mukminin tidak akan tahu”. Balas si anak “Jika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul Mukminin tahu”. Umar
yang mendengar kemudian menangis. Betapa mulianya hati anak gadis itu.
Ketika pulang ke rumah, Umar bin
Khattab menyuruh anak lelakinya, Asim menikahi gadis itu. Kata Umar, "Semoga lahir dari keturunan gadis ini bakal
pemimpin Islam yang hebat kelak yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam”.
Ashim yang taat tanpa banyak tanya segera menikahi gadis miskin tersebut. Pernikahan
ini melahirkan anak perempuan bernama Laila yang lebih dikenal dengan sebutan
Ummu Asim. Ketika dewasa Ummu Asim menikah dengan Abdul-Aziz bin Marwan yang
melahirkan Umar bin Abdul-Aziz.
B. Kelahiran
Saat itu,
Ummi Ashim menikah dengan Abdul Aziz bin Marwan. Abdul Aziz adalah Gubernur
Mesir di era khalifah Abdul Malik bin Marwan (685 – 705 M) yang merupakan
kakaknya. Abdul Mallik bin Marwan adalah seorang shaleh, ahli fiqh dan tafsir,
serta raja yang baik terlepas dari permasalahan ummat yang diwarisi oleh
ayahnya (Marwan bin Hakam) saat itu.
Dari perkawinan itu, lahirlah Umar
bin Abdul Aziz. Beliau dilahirkan di Halawan, kampung yang terletak di Mesir,
pada tahun 61 Hijrah. Umar kecil hidup dalam lingkungan istana dan mewah. Saat
masih kecil Umar mendapat kecelakaan. Tanpa sengaja seekor kuda jantan
menendangnya sehingga keningnya robek hingga tulang keningnya terlihat. Semua
orang panik dan menangis, kecuali Abdul Aziz seketika tersentak dan tersenyum.
Seraya mengobati luka Umar kecil, dia berujar,
“Bergembiralah
engkau wahai Ummi Ashim. Mimpi Umar bin Khattab insyaallah terwujud, dialah
anak dari keturunan Umayyah yang akan memperbaiki bangsa ini.“
Umar bin Abdul Aziz menuntut ilmu
sejak beliau masih kecil. Beliau sentiasa berada di dalam majlis ilmu
bersama-sama dengan orang-orang yang pakar di dalam bidang fikih dan juga
ulama-ulama. Beliau telah menghafaz al-Quran sejak masih kecil. Merantau ke
Madinah untuk menimba ilmu pengetahuan. Beliau telah berguru dengan beberapa
tokoh terkemuka spt Imam Malik, Urwah bin Zubair, Abdullah bin Jaafar, Yusuf
bin Abdullah dan sebagainya. Kemudian beliau melanjutkan pelajaran dengan
beberapa tokoh terkenal di Mesir.
Semasa Khalifah Walid bin Abdul
Malik memerintah, beliau memegang jawatan gabernur Madinah/Hijaz dan berjaya
mentadbir wilayah itu dengan baik. Ketika itu usianya lebih kurang 28 tahun.
Pada zaman Sulaiman bin Abdul Malik memerintah, beliau dilantik menjadi menteri
kanan dan penasihat utama khalifah. Pada masa itu usianya 33 tahun.
Umar bin Abdul Aziz mempersunting
Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan sebagai istrinya. Fatimah binti Abdul
Malik bin Marwan adalah putri dari khalifah Abdul Malik bin Marwan. Demikian
juga, keempat saudaranya pun semua khalifah, yaitu Al Walid Sulaiman, Al Yazid,
dan Hisyam. Ketika Fatimah dipinang untuk Umar bin Abdul Aziz, pada waktu itu
Umar masih layaknya orang kebanyakan bukan sebagai calon pemangku jabatan
khalifah.
C.
Kehidupan awal
a) 682 – 715
Umar dibesarkan
di Madinah, di bawah
bimbingan Ibnu
Umar, salah seorang periwayat hadis terbanyak.
Ia tinggal di sana sampai kematiannya ayahnya, dimana kemudian
ia dipanggil ke Damaskus
oleh Abdul Malik dan
menikah dengan anak
perempuannya Fatimah. Ayah
mertuanya kemudian segera meninggal dan ia diangkat pada tahun 706 sebagai
gubernur Madinah oleh
khalifah Al-Walid I.
b) 715 – 715: era Al-Walid I
Tidak seperti
sebagaian besar penguasa pada saat itu, Umar membentuk sebuah dewan yang
kemudian bersama-sama dengannya menjalankan pemerintahan provinsi. Masa di
Madinah itu menjadi masa yang jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, dimana keluhan-keluhan
resmi ke Damaskus berkurang dan dapat diselesaikan di Madinah, sebagai
tambahan banyak orang yang berimigrasi ke Madinah dari Iraq, mencari
perlindungan dari gubernur mereka yang kejam, Al-Hajjaj bin Yusuf. Hal tersebut
menyebabkan kemarahan Al-Hajjaj, dan ia menekan al-Walid I untuk memberhentikan
Umar. al-Walid I tunduk kepada tekanan Al-Hajjaj dan memberhentikan Umar dari
jabatannya. Tetapi sejak itu, Umar sudah memiliki reputasi yang tinggi di
Kekhalifahan Islam pada masa itu.
Pada era
Al-Walid I ini juga tercatat tentang keputusan khalifah yang kontroversial
untuk memperluas area di sekitar masjid Nabawi sehingga rumah Rasulullah ikut
direnovasi. Umar membacakan keputusan ini di depan penduduk Madinah termasuk
ulama mereka, Said Al Musayyib sehingga
banyak dari mereka yang mencucurkan air mata. Berkata Said Al Musayyib: "Sungguh
aku berharap agar rumah Rasulullah tetap dibiarkan seperti apa adanya sehingga
generasi Islam yang akan datang dapat mengetahui bagaimana sesungguhnya tata
cara hidup beliau yang sederhana"[2]
c) 715 – 717: era Sulaiman
Umar tetap
tinggal di Madinah selama
masa sisa pemerintahan al-Walid I dan kemudian dilanjutkan oleh saudara
al-Walid, Sulaiman. Sulaiman, yang juga merupakan sepupu
Umar selalu mengagumi Umar, dan menolak untuk menunjuk saudara kandung dan
anaknya sendiri pada saat pemilihan khalifah dan menunjuk Umar.
D.
Sebelum Menjabat
Menjelang
wafatnya Sulaiman, penasihat kerajaan bernama Raja’ bin
Haiwah menasihati beliau, "Wahai Amirul Mukminin, antara perkara yang
menyebabkan engkau dijaga di dalam kubur dan menerima syafaat dari Allah di
akhirat kelak adalah apabila engkau tinggalkan untuk orang Islam khalifah yang
adil, maka siapakah pilihanmu?". Jawab Khalifah Sulaiman, "Aku
melihat Umar Ibn Abdul Aziz".
Surat wasiat
diarahkan supaya ditulis nama Umar bin Abdul-Aziz sebagai penerus kekhalifahan,
tetapi dirahasiakan darai kalangan menteri dan keluarga. Sebelum wafatnya
Sulaiman, beliau memerintahkan agar para menteri dan para gubernur berbai’ah
dengan nama bakal khalifah yang tercantum dalam surat wasiat tersebut.
Seluruh umat
Islam berkumpul di dalam masjid dalam keadaan bertanya-tanya, siapa khalifah
mereka yang baru. Raja’ Ibn Haiwah mengumumkan, "Bangunlah wahai Umar
bin Abdul-Aziz, sesungguhnya nama engkaulah yang tertulis dalam surat ini".
Umar bin Abdul-Aziz bangkit seraya berkata, "Wahai manusia,
sesungguhnya jabatan ini diberikan kepadaku tanpa bermusyawarah dahulu denganku
dan tanpa pernah aku memintanya, sesungguhnya aku mencabut bai’ah yang ada
dileher kamu dan pilihlah siapa yang kalian kehendaki".
Umat tetap
menghendaki Umar sebagai khalifah dan Umar menerima dengan hati yang berat,
hati yang takut kepada Allah dan tangisan. Segala keistimewaan sebagai khalifah
ditolak dan Umar pulang ke rumah. Ketika pulang ke rumah, Umar berfikir tentang tugas baru
untuk memerintah seluruh daerah Islam yang luas dalam kelelahan setelah
mengurus jenazah Khalifah Sulaiman bin Abdul-Malik.
E.
Pemerintahan Umar bin Abdul-Aziz
Hari kedua
dilantik menjadi khalifah, beliau menyampaikan khutbah umum. Kemudian Beliau pulang
ke rumah dan menangis sehingga ditegur isteri “Apa yang Amirul Mukminin
tangiskan?” Beliau mejawab “Wahai isteriku, aku telah diuji oleh Allah dengan jawatan
ini dan aku sedang teringat kepada orang-orang yang miskin, ibu-ibu yang janda,
anaknya ramai, rezekinya sedikit, aku teringat orang-orang dalam tawanan, para
fuqara’ kaum muslimin. Aku tahu mereka semua ini akan mendakwaku di akhirat
kelak dan aku bimbang aku tidak dapat jawab hujah-hujah mereka sebagai khalifah
kerana aku tahu, yang menjadi pembela di pihak mereka adalah Rasulullah saw’’
Isterinya juga turut mengalir air mata.
Umar bin Abdul Aziz
mula memeritah pada usia 36 tahun sepanjang tempoh 2 tahun 5 bulan 5 hari.
Pemerintahan beliau sangat menakjubkan. Pada waktu inilah dikatakan tiada siapa
pun umat Islam yang layak menerima zakat sehingga harta zakat yang menggunung
itu terpaksa diiklankan kepada sesiapa yang tiada pembiayaan untuk bernikah dan
juga hal-hal lain.
F.
Hari-hari terakhir Umar bin Abdul-Aziz
Beliau
meninggal dunia hari jum'at di sepuluh hari terakhir bulan Rajab tahun 101 H
pada umur 40 tahun, setelah memegang tampuk kekuasaan selama kurang lebih 2
tahun 5 bulan 4 hari, dikarenakan stroke yang menimpanya. Ada juga yang
mengatakan bahwa beliau meninggal dunia karena diracun para pejabat Bani
Umayah.
Beliau meninggalkan 3 orang istri:
Fatimah bintu Abdul Malik bin Marwan, Lumais bintu Ali bin Haris, Ummu Utsman
bintu Syu'aib bin Zayyan, dan 14 orang anak laki-laki: Abdul Malik, Abdul Aziz,
Abdullah, Ibrahim, Ishaq, Ya'qub, Bakr, Walid, Musa, Ashim, Yazid, Zayyan,
Abdul Aziz, Abdullah, serta 3 orang anak perempuan: Ummu Ammar, Aminah, Ummu
Abdillah.
Beliau memiliki 14 anak 13 laki-laki
dan 3 putri , yang putra adalah : Abdul Malik, Abdul aziz, Abdulloh, Ibrohim,
Ishaq, Ya’kub, Bakar al-Walid, Musa, Ashim, Yazid, Zuban, Yang putri ada 3
yaitu : Aminah, Ummu Ammar, Ummu Abdillah.
K.H. Firdaus A. N. 1988.Kepemimpinan
Khalifah Umar bin Abdul Aziz.Jakarta : CV. Pedoman Ilmu Jaya